You are currently browsing the category archive for the ‘Untuk Biografi Tokoh’ category.

hugo_chavez_retocada590Banyak berita dan informasi mengenai Venezuela di bawah Hugo Chavez saat ini. Ada baiknya sedikit lebih dalam memahami mengapa ia didukung rakyatnya dan dimusuhi AS.

Saat ini, hampir di setiap dinding kota Venezuela kita bisa melihat graffiti puji-pujian terhadap Simon Bolivar, Hugo Chavez Frias dan Revolusi Bolivarian.

Sejak Chavez terpilih tahun 1998, Venezuela memulai Revolusi Bolivarian melalui sebuah Konstitusi Republik Kelima yang diakui sebagai konstitusi terbaik di dunia setelah Magna Charta dalam melindungi hak-hak ekonomi, sosial, politik dan budaya rakyat miskin.

Tak kurang 3 juta barrel perhari yang dihasilkan PDVSA-Petroleos de Venezuela-dinasionalisasi oleh pemerintah sejak akhir 2001. Nasionalisasi inilah, yang kemudian, menyulut ‘perang’ terbuka melawan imperialisme Amerika Serikat. Inilah perang tanpa senjata pertama di abad 21 terhadap kebijakan neoliberalisme AS.

Perlu dicatat bahwa cadangan minyak mentah Venezuela adalah kelima terbesar di dunia dan eksportir minyak utama untuk AS. Kenyataan ini begitu penting dan besar pengaruhnya untuk bisa memahami Venezuela, karena praktis, kekayaan minyaklah yang membentuk setiap aspek kehidupan negeri itu: sejarahnya, ekonominya, politik, termasuk budayanya.

Sebelum Chavez berkuasa, 70% dari hampir 26 juta jiwa rakyatnya hidup miskin. Kebijakan neoliberalisme yang dijalankan pemerintah sejak 1970-an membuat kekayaan minyak dikuasai oleh pemodal-pemodal Chevron Corps; Royal Ducth Shell, Repsol dan Exxon. Akibatnya pendapatan minyak paling besar masuk ke pundi-pundi pemodal dan pejabat di sekeliling partai berkuasa COPEI-Kristen Demokrat-dan Action Democratica (AD).

Situasi ini antara lain menyebabkan pemberontakan menolak kenaikan harga Caracazo, 27 Februari 1989, dan pemberontakan militer progressif di bawah kepemimpinan Kolonel Hugo Chavez Frias (1992). Walau pemberontakan ini gagal, namun inilah awal kemenangan Chavez dalam merebut hati rakyat yang rindu perubahan.

Permusuhan AS-Venezuela

Amerika Serikat: tetangga ‘tak ramah’ bagi Venezuela. Sejak 1977 sekitar 50% perusahaan-perusahaan raksasa di Venezuela memiliki ‘ikatan’ dengan modal AS. Akibatnya sungguh penting bagi Amerika Serikat untuk memelihara negeri-negeri di Amerika Latin berada di jalur-jalur Washington Consencus.

Namun sejak pemerintah Hugo Chavez melancarkan perang terbuka terhadap kebijakan neoliberal, melalui berbagai skenario AS mendukung bahkan mensponsori peristiwa-peristiwa politik menjatuhkan Chavez, seperti, boikot produksi minyak 2001; kudeta April 2002 oleh oposisi yg tidak senang dengan kebijakan sosial Chavez dan kedekatannya dengan Kuba; referendum ‘pemecatan Chavez’ Agustus 2004; hingga belum lama ini seruan pembunuhan terhadap Chavez oleh seorang pendeta terkemuka di AS dan seruan membentuk front dunia anti Hugo Chavez.

Tiga peristiwa pertama tidak berhasil dimenangkan oleh kubu pro AS bahkan kecintaan rakyat pada Chavez dan Revolusi Bolivarian tak bertambah surut.

Revolusi Bolivarian untuk Kesejahteraan Rakyat

Kecintaan rakyat disebabkan oleh dua hal, yakni: dimulainya Demokrasi Partisipasi dan diakhirinya demokrasi Punto Fijo (puntofijismo)-kesepakatan pembagian kekuasaan antara AD dan Copei; serta penggunaan kekayaan negeri untuk kesejahteraan rakyat miskin (Endogeneous Developmen).

Dana Pembangunan Khusus PDVSA 90% diprioritaskan setiap tahun untuk proyek sosial seperti, agroindustri; transportasi; pembangunan dan pembangunan budaya; serta pengadaan listrik. Dalam anggaran 2006 ini, 41% (lebih besar 27% dari anggaran tahun 2005) dari total anggaran dialokasikan untuk program-program sosial. Empat puluh tujuh persen dari total anggaran tersebut berasal dari pemasukan minyak dan 53% dari pendapatan pajak perusahaan-perusahaan besar. UNICEF dan Inter American Development Bank (IADB) mengakui bahwa inilah program sosial yang terbesar dan paling komprehensif di Amerika Latin dan dunia.

Program sosial diterapkan secara simultan dan komprehensif. Misi-misi pendidikan dan kesehatan seperti Mission Robinson, Ribas, Sucre dan Barrio Adentro dilaksanakan bekerjasama dengan lebih dari 30.000 tenaga pengajar dan dokter dari Cuba-karena kaum oposisi memboikot pelaksanaan program ini. Misi Robinson berhasil membebaskan Venezuela dari buta huruf di tahun 2005 lalu (data UNICEF) dan meluluskan 900.000 orang yang drop out sekolah dasar di tahun 2004. Mission Ribas menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, dan Sucre memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi. Secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota. Selama 102 tahun rakyat tak pernah membayangkan program-program sosial ini dapat dinikmati dengan gratis

Ada pula Mission Barrio Adentro yakni pengadaan pelayanan kesehatan gratis dengan pusat-pusat diagnosa dan pengobatan bagi penyakit kronis. Demikian pula mission Mercal-pengadaan dan distribusi makanan lebih murah dari harga pasar di perkampungan miskin, dan mission Vuelvan Caras-kredit tanpa bunga bagi petani. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga meredistribusi jutaan hektar tanah yang tak menganggur untuk lahan pertanian bagi rakyat tak bertanah, serta membangun Bank Perempuan (Banco La Mujer) yang memberikan kredit bagi komunitas kaum perempuan miskin untuk berproduksi.

Hingga jajak pendapat bulan lalu, 60% rakyat masih menghendaki Chavez memimpin. Walau, beberapa persoalan kemiskinan dan pengangguran masih tersisa, namun rancangan program pemerintah tampak sudah memberi basis solusi untuk itu. Seperti pepatah, tak semudah membalikkan telapak tangan.

Sumber: forum.detik.com

m_yunus

Muhammad Yunus dan Grameen Bank Banglades meraih Nobel Perdamaian 2006. Ini untuk pertama kali, sebuah usaha pemberantasan kemiskinan mendapatkan sendiri apresiasi itu. Komite Nobel makin berpihak kepada upaya pencegahan perang yang paling fundamental, pemberantasan kemiskinan. Perdamaian haruslah merupakan sebuah perdamaian yang berkeadilan.

Pria yang rambutnya sudah memutih itu tertawa riang sambil melambaikan tangan di antara para kerabat dan masyarakat Bangladesh setelah mengetahui namanya diumumkan sebagai penerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian 2006 di Dhaka, Bangladesh. “Ini penghargaan bagi kaum miskin!” seru Muhammad Yunus (66), pendiri Bank Grameen yang kini memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa dan mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin.

Siapa yang menyangka. Hingga detik-detik terakhir, Muhammad Yunus memang sama sekali tidak disebut-sebut berpeluang menerima hadiah Nobel Perdamaian 2006. Banyak kalangan menjagokan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari yang berjasa meredakan konflik Aceh. Tokoh lain yang dijagokan adalah Mantan Menteri Luar Negeri Australia Gareth Evans yang berjasa merekonstruksi Kamboja dan Vietnam; aktivis etnik Uighur Rebiya Kadeer yang menuduh Pemerintah China menyiksa orang Uighur di barat daya Xinjiang; dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun tahun ini, untuk pertama kalinya, pemenangnya bukanlah selebriti yang sudah terkenal di dunia, juga bukan figur dan badan yang dijagokan, tetapi yang peduli pada pemberdayaan kaum papa dan wanita. Komite Nobel Norwegia dalam keputusannya punya alasan tersendiri. “Komite telah memutuskan untuk menganugerahkan Nobel Perdamaian 2006 kepada Muhammad Yunus dan Grameen Bank. Itu adalah penghargaan atas usaha mereka menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari tataran paling bawah,” demikian kata Ketua Komite Nobel Norwegia Ole Danbolt Mjoes, di Oslo, Jumat (13/10). “Muhammad Yunus telah memperlihatkan diri sebagai seorang pemimpin, yang menerapkan visinya ke dalam hal praktis demi peruntungan jutaan orang, tidak hanya di Banglades, tetapi juga di banyak negara,” lanjutnya lagi.

Sedangkan Asle Sveen, seorang sejarawan Norwegia mengatakan, “Ini adalah untuk pertama kali, sebuah usaha pemberantasan kemiskinan mendapatkan sendiri apresiasi itu. Sudah terlalu banyak nominasi bagi pihak-pihak yang melerai konflik-konflik. Kini Komite Nobel makin berpihak kepada upaya pencegahan perang yang paling fundamental. Mengupayakan perdamaian tidaklah cukup, perdamaian haruslah merupakan sebuah perdamaian yang berkeadilan. Salah satu penyebab perang, yakni kelaparan dan kemiskinan, harus diatasi mulai dari akarnya,” kata Sveen.

Sekjen PBB Kofi Anna juga menyatakan pendapat yang senada. “Terima kasih pada Yunus dan Grameen Bank. Kredit mikro telah menjadi salah satu alat untuk memotong lingkaran kemiskinan yang paling membelit wanita,” kata Annan. “Kita tak bisa mengatasi terorisme dengan perang langsung terhadap terorisme, tetapi dengan memberi akses kehidupan pada kaum miskin,” lanjut Kofi Annan. Komentar senada juga bermunculan dari berbagai pemimpin dunia, mulai dari Kanselir Jerman Angela Merkel, Presiden Perancis Jacques Chirac hingga Raja Spanyol Juan Carlos.

Pembela Kaum Papa dan Wanita
Kiprah Yunus memberdayakan kaum papa telah dilakukannya sejak tahun 1974. Ketika itu, sebagai profesor ekonomi di Universitas Chittagong, dia memimpin para mahasiswa untuk berkunjung ke desa-desa miskin di Bangladesh. Betapa kagetnya Yunus ketika dia menyaksikan warga miskin di desa-desa berjuang lolos bertahan dari kelaparan yang melanda negara itu dan telah menewaskan ratusan ribu orang. Selanjutnya, sebagai akademisi Yunus pun merasa berdosa. “Ketika banyak orang sedang sekarat di jalan-jalan karena kelaparan, saya justru sedang mengajarkan teori-teori ekonomi yang elegan,” kata Yunus.

“Saya mulai membenci diri saya sendiri karena bersikap arogan dan menganggap diri saya bisa menjawab persoalan itu (kemiskinan). Kami profesor universitas semuanya pintar, tetapi kami sama sekali tidak tahu mengenai kemiskinan di sekitar kami. Sejak itu saya putuskan kaum papa harus menjadi guru saya,” tambahnya. Dari perasaan bersalah itu, laki-laki kelahiran Chittagong tahun 1940 itu mulai mengembangkan konsep pemberdayaan kaum papa. Filosofi yang dia bangun adalah bagaimana membantu kaum miskin agar bisa mengangkat derajat mereka sendiri. Dia tidak ingin memberi ikan, melainkan memberi pancing kepada kaum papa untuk mencari ikan sendiri.

Tekad Yunus semakin bulat setelah mengetahui seorang ibu perajin bambu bernama Sufia Begum bolak-balik berutang kepada tengkulak untuk mendapat modal membuat bangku dari bambu. Sufia yang tinggal di desa Jobra dekat Universitas Chittagong meminjam uang 5 taka atau kurang dari Rp 850 untuk setiap bangku. Namun, dia harus mengembalikan utang tersebut berikut bunganya sebesar Rp 184. “Saya berkata pada diri sendiri, oh Tuhan, hanya karena lima taka dia menjadi budak. Saya tidak mengerti mengapa mereka harus menjadi begitu miskin padahal mereka bisa membuat barang kerajinan yang bagus,” kata Yunus.

Untuk membantu Sufia dan teman-temannya sesama perajin, awalnya Yunus merogoh koceknya sendiri sebesar 27 dollar AS. Saat itu, dia begitu yakin bahwa jika orang miskin diberi akses kredit seperti yang diberikan kepada orang kaya, mereka pasti bisa mengelolanya dengan baik. “Berikan itu (kredit) kepada orang miskin, mereka akan bisa mengurus dirinya,” katanya. Keyakinan Yunus tidak meleset. Program kredit mikro yang digulirkannya terus berkembang.

Dua tahun kemudian, Yunus mulai mengembangkan program kredit mikro tanpa agunan untuk kaum papa yang tidak dapat mengakses pinjaman bank. Program ini menjadi semacam gugatan Yunus terhadap ketidakadilan dunia terhadap kaum miskin. “Mengapa lembaga keuangan selalu menolak orang miskin? Mengapa informasi teknologi menjadi hak eksklusif orang kaya,” tuturnya.

Tahun 1976, Yunus mentransformasi lembaga kreditnya menjadi sebuah bank formal dengan aturan khusus bernama Bank Grameen, atau Bank Desa dalam bahasa Bengali. Kini, bank ini memiliki 2.226 cabang di 71.371 desa. Hebatnya lagi, modal bank ini 94 persen dimiliki nasabah, yakni kaum miskin, dan sisanya dimiliki pemerintah. Bank tersebut kini mampu menyalurkan kredit puluhan juta dollar AS per bulan kepada 6,6 juta warga miskin yang menjadi peminjamnya. Sebanyak 96 persen nasabah bank ini adalah kaum perempuan.

Untuk menjamin pembayaran, Bank Grameen menggunakan sistem yang dinamakan ‘grup solidaritas’. Kelompok kecil yang bersama-sama mengajukan pinjaman, di dalamnya terdapat anggota yang bertindak sebagai penjamin pembayaran. Pinjaman ini mirip dana bergulir, di mana ketika satu anggota telah berhasil mengembalikan pinjaman, akan digunakan oleh anggota lainnya. Bank Grameen kemudian memperluas cakupan pemberian kreditnya dengan memberikan pinjaman rumah (KPR), proyek irigasi, pinjaman untuk usaha tekstil, dan usaha lainnya.

Pada akhir 2003, Bank Grameen meluncurkan program baru, yang membidik para pengemis di Bangladesh. Pinjaman bagi para pengemis rata-rata sebesar 500 taka atau setara 9 dollar AS. Pinjaman tanpa agunan ini tidak dikenakan bunga dengan waktu pembayaran fleksibel. Syaratnya pinjaman harus dikembalikan dari hasil pekerjaan mereka dan bukan dari mengemis. “Kami berupaya menaikkan harkat selain tentunya meningkatkan kemampuan ekonomi mereka,” kata Yunus dalam situsnya.

Mereka diberikan tanda pengenal berupa pin dengan logo bank sebagai bukti bahwa ada bank yang mendukung kegiatan mereka. Bank Grameen bahkan membuat perjanjian dengan beberapa toko lokal agar meminjamkan mereka sejumlah barang, sesuai plafon utangnya, untuk dijual kembali. Bank menjamin pengembaliannya jika ternyata mereka gagal bayar. Mereka menjual roti, permen, acar, dan mainan sembari mereka mengemis. Para pengemis, atau yang disebut struggling member terbuka untuk membuka tabungan di Grameen. Mereka juga dilindungi asuransi jika terjadi kematian. Hingga pertengahan 2005, sebanyak 31 juta taka pinjaman telah disalurkan bagi 47 ribu lebih pengemis. Sebanyak 15,4 juta di antara pinjaman itu telah dikembalikan.

Bank Grameen juga telah berkembang menjadi Grameen Family of Enterprises yang membawahkan delapan lembaga profit dan nonprofit, semuanya ditujukan untuk mendorong masyarakat terangkat derajatnya. Divisi perbankannya mencatat keuntungan sebesar 15,21 juta dolar pada 2005 lalu.

Gerakan pemberdayaan kaum papa yang diprakarsai Muhammad Yunus kini diadopsi oleh lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat miskin di seluruh dunia. Bahkan, Bank Dunia yang sebelumnya memandang program ini secara sebelah mata kini mengadopsi gagasan kredit mikro. Lebih dari 17 juta orang miskin di seluruh dunia telah terbantu dengan program kredit mikro ini.

Yunus dan Grameen Bank mendapatkan hadiah sebesar 1,36 juta dollar AS (sekitar Rp 12,5 miliar). Hadiah itu, kata Yunus, akan dipakai untuk proyek yang menghasilkan makanan bergizi, murah dan juga kepada perawatan mata, pengadaan air minum serta pelayanan kesehatan. ► e-ti/mlp (dari berbagai sumber)

 

==============================================

 

Pengemis pun Dipinjami

Kompas, 30 Oktober 2006: Pengemis mendapat kucuran kredit dan bisa mengembalikannya. Bagaimana bisa? Mungkin begitulah pertanyaan banyak orang. Itu betul-betul nyata. Memang bukan di negeri kita ini yang kian banyak pengemisnya, tetapi di Bangladesh yang dilakukan oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus.

“Kesalahan terbesar” yang dilakukan bank-bank selama ini karena mereka hanya mau meminjamkan uang atau membuka kran kredit kepada orang yang sudah punya “uang” dalam arti penghasilan dan aset. Coba kita datang ke bank meminjam uang, mana mereka mau tanpa jaminan. Entah berupa surat motor, surat mobil, surat rumah atau tanah, dan lainnya.

Pendekanya kita harus punya penghasilan dulu baru bisa dipinjami uang. Artinya, hanya orang yang punya uang bisa meminjam. Muncullah istilah “bankable”, sebuah kata yang sangat menyesakkan bagi mereka yang tak punya uang, tak punya aset untuk dijadikan jaminan (kolateral) kepada bank agar bisa memiliki akses untuk meminjam.

Pikiran bankir, pasti hanya orang yang sudah punya penghasilan yang bisa mengembalikan pinjamannya. Kalau pun ada penghasilan, tetapi pinjaman tak dikembalikan, bank bisa menyita aset jaminan kita. Lalu siapalah yang mau meminjamkan orang yang belum punya penghasilan, orang yang miskin, orang yang tak punya aset untuk dijaminkan?

Kesalahan cara pandang dan pola berpikir itulah yang hendak “diputar” oleh Muhammad Yunus, yang meraih Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini. Ia memang bukan bankir, tetapi seorang profesor ekonomi, yang sesak melihat kemiskinan di negerinya.

Belajar dari pengalaman menyalurkan kredit kepada orang miskin melalui Grameen Bank yang dirintisnya sejak tahun 1976, dan telah terbukti mereka tidak mengemplang utang dengan ukuran hampir 99 persen peminjam, yakni golongan orang paling miskin, mengembalikan pinjamannya, maka mulai tahun 2003, Yunus memulai langkah berani, bahkan mungkin sebagian orang akan menyebutnya nekat, merintis penyaluran kredit kepada para genldangan pengemis di Bangladesh. “Pengangguran menjadio pilihan bagi banyak orang miskin di Bangladesh, akibat dampak bencana banjir, perceraian, kematian tulang punggung penghasilan keluarga, cacat dan sebaginya. Dan banyak yang menjadikannya pekerjaan seumur hidupnya,” ujar Yunus.

Pengemis yang memang banyak jumlahnya (sekitar 70 persen dari total 15… penduduk) di negara itu, tidak terjangkau dengan begitu banyak intervensi pengentasan kemiskinan.

Program yang dinamai The Struggling (Beggar) Members Program” merupakan inisiatif yang diambil Grameen Bank untuk kampanye berkelanjutan pengentasan kemiskinan, namun program yang sudah ada sebelumnya, yakni program kredit mikro kepada kebanyakan wanita, tidak bisa diterapkan kepada para pengemis itu. Tetapi prinsip Yunus dan Grameen Bank-nya, kredit seharusnya dipahami sebagai hak asasi manusia.

Kuncinya, program ini memang unik, sebab bahkan “memangkas” kebiasaan dan “memotong” regulasi aturan yang telah berlaku untuk anggota reguler (regular members), sebutan bagi nasabah kredit mikro. Karena itu pula, para anggota pengemis tidak disyaratkan memenuhi aturan pemberian kredit mikro. Meski pengemis itu berapiliasi dengan grup anggota reguler, mereka tidak berkewajiban hadir setiap rapat yang diselenggarakan sekali seminggu oleh Grameen Bank.

Akan tetapi, anggota grup reguler, bertindak sebagai mentor bagi anggota pengemis, dengan menyediakan petunjuk pelaksanaan dan dukungan bagi mereka. “Bank memperlakukan angota pengemis dengan perlakuan dan perhatian yang sama dengan anggota reguler dan anggota reguler diwanti-wanti untuk tidak menggunakan istilah pengemis yang secara sosial berkonotasi kuarng baik,” kata Yunus.

Karena itulah, tipikal pinjaman yang diberikan memang “sungguh sangat kecil sekali”, hanya Tk 500 (9 dollar). Pinjaman itu tidak memerlukan kolateral atau agunan, dan sama sekali tidak dikenakan suku bunga. Pembayaran kembali dari pengemis itu pun sangat fleksibel, yang diputuskan sendiri oleh penerimanya. Pembayaran pinjaman akan dibayar sesuai kemampuan meraih keuntungan mereka.

Suatu hal yang paling ditekankan, pinjaman itu tidak dibayar dari uang hasil mengemis. Artinya, dengan cara seperti itu, mereka memang harus berusaha lepas dari pekerjaan mengemis. Kalau begitu, pengemis berkurang? Ya….

“Tujuan program ini bukan hanya memberdayakan secara ekonomi, tetapi juga mengangkat moral dan harga diri para pengemis itu,” ujar Yunus.

Oleh karena itu, para pengemis penerima pinjaman dari Grameen Bank diberi identitas atau tanda pengenal yang berlogo Grameen Bank untuk menunjukkan bahwa dukungan Grameen Bank berada di belakang mereka. Bank membuat perjanjian dengan toko-toko lokal untuk memberi para pengemis itu saluran akses (credit line) sehingga para pengemis itu dapat mengambil barang senilai batas yang ditentukan untuk dijual di desanya. Dengan demikian, para pengemis tersebut dapat menjual berbagai macam barang, seperti roti, permen, mainan, dan sebagainya.

Sementara Grameen Bank menyediakan jaminan kepada toko-toko itu, untuk membayarnya sekiranya para pengemis itu gagal bayar.

Sekiranya mereka mampu menabung, tentu saja lebih baik. Mereka pun dilindungi dengan skim arusansi kredit, yang akan dibayar sepenuhnya oleh Grameen Bank manakala si penerimakredit meninggal. Sekitar 500 taka akan disediakan Emergency Fund yang dibentuk Grameen Bank untuk biaya penguburan bagi mereka yang mengalami kematian keluarga.

Menurut Yunus dalam salah satu makalahnya, para pengemis itu disediakan berbagai hadiah bagi mereka yang membayar kembali kreditnya. “Meskpiun tidak ada kewajiban (semacam aturan tertulis) untuk keluar dari pekerjaan mengemis, namun dalam banyak kasus di antara mereka yang justru meraih peningkatan status, menjadi pengusaha,” kata Yunus.

sumber: www.tokohindonesia.com

GregGreg Mortenson, seorang aktivis kemanusiaan dan penulis “Tiga Cangkir Teh: Misi Satu Orang Pria untuk Memajukan Perdamaian”. Hari Minggu itu ia terlambat datang di teater Sekolah Tinggi San Diego. Bukan masalah baginya untuk berdiri di ruangan yang penuh sesak. Mortenson disambut bak pahlawan saat tampil di panggung.

Ketika Mortenson berusia tiga bulan, orang tuanya membawanya pergi dari Minnesota ke Tanzania di Afrika Timur dan bekerja sebagai misionaris selama 13 tahun.

Saat Mortenson remaja dan kembali ke Amerika Serikat, dia mengalami perlakuan tidak adil dan rasisme saat duduk di Sekolah Menengah Atas. Oleh teman-temannya dia dipanggil “Si Afrika”.

Setelah saudara perempuannya, Christa, meninggal dunia akibat serangan penyakit ayan, dia bersumpah untuk mengenangnya. Melalui kegemarannya mendaki gunung, pada 1993 dia mendaki salah satu gunung yang paling susah ditaklukan di dunia, K2 di utara Pakistan, hendak meninggalkan kalung Christa di puncak gunung tersebut. Setelah melalui perjalanan bahaya selama 78 hari, dia gagal.

“Ada sebuah pepatah kuno Parsi, yaitu ketika hari cukup gelap, Anda bisa melihat bintang.”

Setelah gagal mencapai puncak K2, Mortenson menghabiskan waktu di desa Korphe, Pakistan utara. Dia melihat sesuatu yang membuat hatinya teriris.

Di sebuah halaman sekolah yang tanpa gedung dan sosok guru, 84 orang anak, 79 orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan, sedang menulis dengan sebilah tongkat di tanah untuk belajar.

Menurut Mortenson, sepertiga bayi yang lahir di wilayah itu meninggal sebelum berumur satu tahun. Pendapatan kaum pria adalah 400 dollar setahun dan kaum perempuan yang melek huruf rata-rata di bawah 5 persen. Kemudian Mortenson berjanji kepada salah seorang murid perempuan, bahwa dia akan mendirikan sebuah sekolah untuk desanya.

Dia kembali ke Amerika Serikat dan mengirim surat kepada para selebritis guna menghimpun dana. Sampai 580 surat yang dikirimnya, Mortenson mendapat respons, sebuah cek senilai 100 dollar dari Tom Brokaw.

Sebuah sekolah di Westside Elementary di River Falls, Wisconsin, AS, mendengar usaha gigihnya lalu mengundang Mortenson untuk berbicara. Lalu, para guru dan murid menyumbang dan terkumpul sebanyak lebih dari 62,000 sen.

Sejak saat itu, organisasi yang mereka dirikan diberi nama Pennies for Peace (Sensen untuk Perdamaian). Kini ia telah mendonasikan lebih dari 16 juta sen dari 700 sekolah di Amerika Serikat.

Mortenson juga menjual barang-barang yang ia miliki. Dia menghubungi pendaki gunung terkenal bernama Jean Hoerni, yang telah mendonasikan sisa dana bagi sekolah pertamanya. Dia juga mendapat bantuan dari desa Korphe, yang menyediakan pekerja yang tidak mahir serta beberapa material bahan bangunan. Bersama-sama, mereka telah membangun sebuah sekolah.

“Ada sebuah pepatah di Afrika, jika Anda mendidik seorang anak laki-laki, ini berarti Anda mendidik seorang individu. Jika Anda mendidik seorang gadis, maka berarti Anda mendidik suatu komunitas. Seorang anak laki-laki akan pergi untuk menempuh hidupnya. Seorang gadis akan tetap tinggal di dalam komunitas, dan pendidikan yang telah diberikan kepadanya akan bertahan terus.”

Dia meneruskan, “Di negara ketiga, jika Anda mendidik anak-anak perempuan sampai kelas lima, berarti Anda telah mengurangi tingkat kematian pada bayi. Anda akan mengurangi ledakan jumlah penduduk, dan Anda telah meningkatkan indeks kualitas hidup. Di Pakistan dan Afghanistan, sekelompok perempuan harus berjalan selama tiga jam ke sekolah untuk duduk di atas sebuah alas tanah untuk belajar.”

Di belakangnya, ditampilkan gambar slide penduduk dan desa-desa di Pakistan dan Afganistan, menggiring para hadirin ke suatu daerah yang sangat terpencil yang detailnya ia jelaskan sampai menyentuh hati.

“Untuk mengerti kemiskinan, Anda harus merabanya, menciumnya, dan merasakan itu. Para pejabat yang berada di Washington D.C tidak akan dapat mengubah kemiskinan karena mereka sendiri belum pernah berada di sana.”

Sejak 1996, organisasi non-profit Mortenson yang dinamakan “Institut Pusat Asia,” telah membantu membangun lebih dari 60 sekolah di daerah pegunungan Pakistan dan Afghanistan yang sangat terpencil.

Mortenson mengakhiri presentasinya dengan sebuah data statistik yang mengejutkan akan kebutuhan pendidikan. “Terdapat 145 juta orang anak di dunia yang tidak dapat bersekolah.”

Jim Miller, direktur Pusat Penanganan Buta Huruf San Diego City College, mengatakan bahwa tanggapan terhadap Greg Mortenson sangat berlimpah. “Setiap tempat duduk teater selalu penuh, dan banyak orang rela berdiri di luar. Orang-orang merasa tergerak dengan kisah-kisah yang ada, dan terpesona oleh Mortenson. Hal mena-rik yang selalu dilakukannya ialah dengan mengangkat masalah geopolitik yang cukup besar seperti halnya kemiskinan di Afghanistan dan dia menggambarkannya sedemikian rupa sehingga orang-orang bisa memahaminya.”

Luis Perez, konselor dan pelatih pribadi pengembangan diri di San Diego City College menghadiri presentasi Mortenson dan mengatakan, “Saya sangat takjub dengan pengaruh pribadinya yang besar terhadap begitu banyak kehidupan lainnya. Greg Mortenson mengingatkan saya tentang energi yang kita miliki dan pengaruh yang dapat kita ciptakan bila kita mengombinasikan energi itu dengan kesediaan kita dalam memberi, tetapi juga harus berhenti sejenak untuk mendengarkan kebutuhan masyarakat yang akan kita layani.”

Sumber: erabaru.or.id

soekarnoSoekarno (Bung Karno) Presiden Pertama Republik Indonesia, 1945- 1966, menganut ideologi pembangunan ‘berdiri di atas kaki sendiri’. Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6 Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya: “Go to hell with your aid.” Persetan dengan bantuanmu.
Ia mengajak negara-nega-ra sedang berkembang (baru merdeka) bersatu. Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil mengge-lorakan semangat revolusi bagi bangsanya, serta menjaga keutuhan NKRI.

Tokoh pencinta seni ini memiliki slogan yang kuat menggantungkan cita-cita setinggi bintang untuk membawa rakyatnya menuju kehidupan sejahtera, adil makmur. Ideologi pembangunan yang dianut pria yang berasal dari keturunan bangsawan Jawa (Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, suku Jawa dan ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, suku Bali), ini bila dilihat dari buku Pioneers in Development, kira-kira condong menganut ideologi pembangunan yang dilahirkan kaum ekonom yang tak mengenal kamus bahwa membangun suatu negeri harus mengemis kepada Barat. Tapi bagi mereka, haram hukumnya meminta-minta bantuan asing. Bersentuhan dengan negara Barat yang kaya, apalagi sampai meminta bantuan, justru mencelakakan si melarat (negara miskin).

Bagi Bung Karno, yang ketika kecil bernama Kusno, ini tampaknya tak ada kisah manis bagi negara-negara miskin yang membangun dengan modal dan bantuan asing. Semua tetek bengek manajemen pembangunan yang diperbantukan dan arus teknologi modern yang dialihkan — agar si miskin jadi kaya dan mengejar Barat — hanyalah alat pengisap kekayaan si miskin yang membuatnya makin terbelakang.

Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang sejahtera. Konsep “berdiri di atas kaki sendiri” memang belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa. Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan (noekolonialisme).

Masa kecil Bung Karno sudah diisi semangat kemandirian. Ia hanya beberapa tahun hidup bersama orang tua di Blitar. Semasa SD hingga tamat, ia tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjut di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu ia pun telah menggembleng jiwa nasio-nalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, ia pindah ke Bandung dan me-lanjutkan ke THS (Technische Hooge-school atau Sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, ia merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, si penjajah, menjebloskannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul ‘Indonesia Menggugat’, dengan gagah berani ia menelanjangi kebobrokan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas (1931), Bung Karno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, ia kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik sangat hebat. Ia pun tak mau membubarkan PKI yang dituduh oleh mahasiswa dan TNI sebagai dalang kekejaman pembunuh para jenderal itu. Suasana politik makin kacau. Sehingga pada 11 Maret 1966 ia mengeluarkan surat perintah kepada Soeharto untuk mengendalikan situasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Supersemar. Tapi, inilah awal kejatuh-annya. Sebab Soeharto menggunakan Supersemar itu membubarkan PKI dan merebut simpati para politisi dan mahasiswa serta ‘merebut’ kekuasaan. MPR mengukuhkan Supersemar itu dan menolak pertanggungjawaban Soekarno serta mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Kemudian Bung Karno ‘dipenjarakan’ di Wisma Yaso, Jakarta. Kesehatannya terus memburuk. Akhirnya, pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Paduka Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi ini meninggalkan 8 orang anak. Dari Fatmawati mendapatkan lima anak yaitu Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Dari Hartini mendapat dua anak yaitu Taufan dan Bayu. Sedangkan dari Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mendapatkan seorang putri yaitu Kartika.

Orator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.

“Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.

Ia adalah seorang cen-dekiawan yang meninggal-kan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.

Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.

Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobio-grafinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah…. Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”

Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil… Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu… Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.

“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS).

Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.

Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.

Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.

Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.

Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).

Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.

Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.

Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?

Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.

Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.

Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com

ahmadinejad21Berikut adalah gambaran Ahmadinejad, yang membuat orang ternganga:

  1. Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan Ia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada masjid-masjid di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.
  2. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP, lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive.
  3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.
  4. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya, arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi, sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.
  5. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya.
  6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250.
  7. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinyaseorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan. Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya.
  8. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan; roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.
  9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat Terbang Kepresidenan, ia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya, ia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.
  10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri2 nya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan, dan ia memotong protokoler istana sehingga menteri2 nya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan. Ia juga menghentikan kebiasaan upacara2 seperti karpet merah, sesi foto, atau publikasi pribadi, atau hal2 spt itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.
  11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut. Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden? Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari pengawal2nya yg selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Menurut koran Wifaq, foto2 yg diambil oleh adiknya tersebut, kemudian dipublikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk amerika.
  12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka.
  13. Bahkan ketika suara azan berkumandang, ia langsung mengerjakan sholat dimanapun ia berada meskipun hanya beralaskan karpet biasa
  14. Ia juga tidak mau bersalaman dengan wanita yang bukan muhrimnya, cukup menundukan kepala sebagai rasa hormat.

Mudah-mudahan di pemilu yang akan datang kita akan memiliki Presiden seperti itu.

Sumber: naksara.net

Mei 2024
J S M S S R K
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930
31